Senin, 25 November 2013

Wajah keibuan vs. Wajah non - keibuan

Tentu kalian pasti bertanya-tanya, apa sih maksud dari tulisan ini ? Apa yang salah dengan wajah seseorang ? Apa yang salah dengan wajah yang memancarkan aura lembut seperti layaknya seorang ibu ? Mari kita bahas satu - persatu.

Dari awal saya tegaskan, bahwa saya sendiri juga tidak mengerti apa yang mau saya pertegas dari adanya tulisan ini. Tapi ada beberapa hal yang membuat mereka (wajah-wajah mereka) terlihat berbeda. Jangan salah artikan ekspresi sebuah wajah atau raut wajah disatu sisi/keadaan/kondisi seseorang, lantas kita bisa membaca keseluruhan sikap, sifat, dan pikirannya. 
Bagi awam yang tidak mengerti, pasti mereka (laki-laki khususnya) akan memilih calon-calon istri bagi mereka dengan paras yang cantik menenangkan. Atau itu biasa kita sebut keibuan. Setelah jauh menjalani sebuah pernikahan dan rumah tangga, ibu-ibu ini terlihat cukup telaten mengurusi segala kebutuhan dan kewajiban seorang ibu. Itu jika dilihat disatu sisi kehidupannya. Tapi coba kita lihat dari sisi kehidupannya yang lain. Ada satu contoh yang saya sendiri alami. Ibu ini berdarah (maaf) Jawa, yang notabene nya memiliki sikap dan sifat yang lembut. Wajahnya begitu lembut, cantik, cekatan, gesit menangani berbagai hal. Pernah ia bercerita bahwa ia sering meninggalkan anak-anaknya yang masih sangat kecil untuk bekerja. Dan baru beberapa hari saya berada didalam lingkungan pergaulannya, saya justru merasa dia tidak memiliki sifat keibuan yang sesungguhnya. Dia pandai menyindir. Sama sekali bukan sifat seorang ibu. Entah kenapa saya merasa saya tidak ingin berada disekitarnya. Bukan untuk membenci, namun lebih menghindar berkontak/berkomunikasi dengannya. Cukup untuk sekali itu saya berkata jujur kepadanya. Tidak untuk kedua kali. Saya merasa seperti ekspresi wajah itu tidak bisa menerima apa yang saya ucapkan tentang kejujuran keadaan keluarga saya. Dan untuk kesekian kali, malalui ekspresi, saya mengalami penolakan halus.
Saya tidak bermaksud menghakimi seseorang tanpa alasan yang jelas. Melainkan yang saya tekankan disini adalah untuk tidak menilai seorang ibu hanya dari satu sisi kehidupannya, bukan dari covernya.
Lain lagi ibu Jawa, lain lagi ibu padang. Ibu yang satu ini (maaf) berdarah padang, yang umumnya memiliki sifat keras dan mungkin sedikit perhitungan. Ibu ini memang sudah menikah, namun suaminya meninggal dan tidak memiliki anak sama sekali dari pernikahannya. Hanya ditinggali anak dari buah pernikahan almarhum suaminya terdahulu. Bekerja begitu keras, dengan jabatannya yang cukup tinggi, tapi ibu ini justru sakit. Pernah sekali ia mengeluh sakit masuk angin dan menderita nyeri diruas tulang bawah dadanya agak kebelakang. Dan yang saya tau, ibu ini juga menderita sakit entah itu dirahim (sekitar reproduksinya) atau sekitar penyakit organ dalam yang pernah ia ceritakan hingga membuat wajahnya terlihat seperti lebam kehitaman tidak bercahaya. Banyak yang ia keluhkan dissisi kesehatannya, tapi entah kenapa saya tiap kali melihatnya tidak merasa dia cacat sekalipun. Atau jelek sekalipun seperti yang ia derita. Dengan keadaannya yang serba ditekan kewajiban pekerjaan, lagi dia tidak memiliki anak kandung sekalipun, tapi ibu ini terlihat selalu lembut bahkan dengan yang bukan anak kandungnya sendiri. Saya merasa tertarik dengannya. Ingin dekat dengannya. Biar dia sakit, dengan wajah yang tidak lembut, tapi dia bisa mengasihi anak-anak orang lain seperti saya ini, layaknya anak sendiri. Mengasihi anak-anak almarhum suaminya, layaknya anak sendiri.

Dari dua perbandingan ini saya bisa membaca bagaimana sifat seseorang, walau tidak secara keseluruhan. Bukan dari wajah, tapi dari dua sisi kehidupan dari dua ibu. Saya tidak bisa membaca fikiran seseorang seutuhnya, tapi saya bisa membaca sikapnya dari dua kehidupan dengan mencoba berada didekatnya, mendengar dia bicara, mendengar dia bercerita tentang dirinya. Itu yang buat saya disebut seseorang seperti bisa membaca fikiran orang lain. 

Salam,

Sagung Dwi.