Senin, 25 November 2013

Wajah keibuan vs. Wajah non - keibuan

Tentu kalian pasti bertanya-tanya, apa sih maksud dari tulisan ini ? Apa yang salah dengan wajah seseorang ? Apa yang salah dengan wajah yang memancarkan aura lembut seperti layaknya seorang ibu ? Mari kita bahas satu - persatu.

Dari awal saya tegaskan, bahwa saya sendiri juga tidak mengerti apa yang mau saya pertegas dari adanya tulisan ini. Tapi ada beberapa hal yang membuat mereka (wajah-wajah mereka) terlihat berbeda. Jangan salah artikan ekspresi sebuah wajah atau raut wajah disatu sisi/keadaan/kondisi seseorang, lantas kita bisa membaca keseluruhan sikap, sifat, dan pikirannya. 
Bagi awam yang tidak mengerti, pasti mereka (laki-laki khususnya) akan memilih calon-calon istri bagi mereka dengan paras yang cantik menenangkan. Atau itu biasa kita sebut keibuan. Setelah jauh menjalani sebuah pernikahan dan rumah tangga, ibu-ibu ini terlihat cukup telaten mengurusi segala kebutuhan dan kewajiban seorang ibu. Itu jika dilihat disatu sisi kehidupannya. Tapi coba kita lihat dari sisi kehidupannya yang lain. Ada satu contoh yang saya sendiri alami. Ibu ini berdarah (maaf) Jawa, yang notabene nya memiliki sikap dan sifat yang lembut. Wajahnya begitu lembut, cantik, cekatan, gesit menangani berbagai hal. Pernah ia bercerita bahwa ia sering meninggalkan anak-anaknya yang masih sangat kecil untuk bekerja. Dan baru beberapa hari saya berada didalam lingkungan pergaulannya, saya justru merasa dia tidak memiliki sifat keibuan yang sesungguhnya. Dia pandai menyindir. Sama sekali bukan sifat seorang ibu. Entah kenapa saya merasa saya tidak ingin berada disekitarnya. Bukan untuk membenci, namun lebih menghindar berkontak/berkomunikasi dengannya. Cukup untuk sekali itu saya berkata jujur kepadanya. Tidak untuk kedua kali. Saya merasa seperti ekspresi wajah itu tidak bisa menerima apa yang saya ucapkan tentang kejujuran keadaan keluarga saya. Dan untuk kesekian kali, malalui ekspresi, saya mengalami penolakan halus.
Saya tidak bermaksud menghakimi seseorang tanpa alasan yang jelas. Melainkan yang saya tekankan disini adalah untuk tidak menilai seorang ibu hanya dari satu sisi kehidupannya, bukan dari covernya.
Lain lagi ibu Jawa, lain lagi ibu padang. Ibu yang satu ini (maaf) berdarah padang, yang umumnya memiliki sifat keras dan mungkin sedikit perhitungan. Ibu ini memang sudah menikah, namun suaminya meninggal dan tidak memiliki anak sama sekali dari pernikahannya. Hanya ditinggali anak dari buah pernikahan almarhum suaminya terdahulu. Bekerja begitu keras, dengan jabatannya yang cukup tinggi, tapi ibu ini justru sakit. Pernah sekali ia mengeluh sakit masuk angin dan menderita nyeri diruas tulang bawah dadanya agak kebelakang. Dan yang saya tau, ibu ini juga menderita sakit entah itu dirahim (sekitar reproduksinya) atau sekitar penyakit organ dalam yang pernah ia ceritakan hingga membuat wajahnya terlihat seperti lebam kehitaman tidak bercahaya. Banyak yang ia keluhkan dissisi kesehatannya, tapi entah kenapa saya tiap kali melihatnya tidak merasa dia cacat sekalipun. Atau jelek sekalipun seperti yang ia derita. Dengan keadaannya yang serba ditekan kewajiban pekerjaan, lagi dia tidak memiliki anak kandung sekalipun, tapi ibu ini terlihat selalu lembut bahkan dengan yang bukan anak kandungnya sendiri. Saya merasa tertarik dengannya. Ingin dekat dengannya. Biar dia sakit, dengan wajah yang tidak lembut, tapi dia bisa mengasihi anak-anak orang lain seperti saya ini, layaknya anak sendiri. Mengasihi anak-anak almarhum suaminya, layaknya anak sendiri.

Dari dua perbandingan ini saya bisa membaca bagaimana sifat seseorang, walau tidak secara keseluruhan. Bukan dari wajah, tapi dari dua sisi kehidupan dari dua ibu. Saya tidak bisa membaca fikiran seseorang seutuhnya, tapi saya bisa membaca sikapnya dari dua kehidupan dengan mencoba berada didekatnya, mendengar dia bicara, mendengar dia bercerita tentang dirinya. Itu yang buat saya disebut seseorang seperti bisa membaca fikiran orang lain. 

Salam,

Sagung Dwi.

Senin, 05 Agustus 2013

Ciri-ciri laki2 hiperseks

Ciri-ciri lelaki hiperseks



Sebelumnya udah pernah dibahas tentang Ciri-ciri Wanita Pecandu Seks ,sekarang gantian,gw share tentang ciri2 laki-laki pencandu seks..

Pecandu seks biasanya pemikirannya di domisili oleh seks.#Hiperseks

Satyriasis adalah sebutan #Hiperseks pria.

Nymphomania adalah sebutan #Hiperseks wanita.

Ukuran seseorang dikatan #HiperSeks jika melakukan hubungan intim 3-4 kali per hari , atau 20X per minggu.

Waspadalah jika pasangan mu tetap buruh masturbasi ,padahal sudah cukup sering melakukan hubungan intim dg mu. #HiperSeks

pria Hiperseks cenderung akan menenangkan pikirannya dg menonton video porno atau masturbasi. #ciriHiperSeks

pria hiperseks sangat hobby masturbasi sambil menonton film2 porno atau melihat gambar2 porno. #ciriHiperSeks

pria hiperseks cenderung bicara soal seks disaat yg tidak tepat. alias tidak bisa mengkontrol. #ciri HiperSeks
pria hiperseks Pastinya pinter Berbohong dengan pasangannya.#ciri HiperSeks

faktanya pria #HiperSeks tidak mau mengaku atau bahkan sulit menerima kenyataan kalau dirinya sudah kecanduan.

Alhasil ,,pria #HiperSeks akan bersikap Defensif ,mereka melakukan berbagai cara untuk membantah tuduhan siapa pun.

Peneliti membuktikan bahwa pria yg kecanduan film porno ,bisa sulit ereksi saat melakukan aktifitas seks yg nyata. #Ciri HiperSeks

pria yg kecanduan pornografi cenderung mengharapkan pengalaman seks yg lebih ekstrim untuk membuat terangsang. #ciriHiperSeks

ciri pria #Hiperseks tidak bisa menerima penolakan dari pasangan, terutama saat urusan bercinta. Alias Suka Maksa.

ciri pria #HiperSeks suka melakukan hal yg tidak lazim , misalnya : hubungan seks dg keadaan pintu & jendela terbuka .

yg lebih parah jika pria #HiperSeks suka EKSIBISIONIS alias perilaku menyimpang seks yg mndapat kepuasan dg Mempertonton kan kelaminnya.

pria #HiperSeks mrka tdk cukup bercinta atau masturbasi , mereka akn mencari cara lain utk melepaskan hasratnya. yaitu dg SELINGKUH.

Ok guys ..sekian sharing tentang pria #HiperSeks ! jika pasangan mu demikan, konsultasikan dg Ahli Psikologi .

Jumat, 02 Agustus 2013

Jangan benarkan saya untuk mengeluh Tuhan... saya benarkan saya untuk bergumam didepan seseorang.
Ekspresi wajah sedih memang saya tidak dapat pungkiri, tapi jangan benarkan saya untuk mengungkapkan dalam kata2. Hanya benarkan saya mengungkapkan emosi melewati airmata saya. Permintaan maaf saya dan rasa terima kasih saya.

Benarkan saya untuk perbaiki diri. Benarkan saya untuk memberi kebaikan kepada yang lain. Benarkan saya untuk memberi senyuman walau tidak berminat. Pantaskan lah saya hanya untuk seseorang yang pantas bagi saya. Beri saya kesempatan untuk berdiam diri dalam ketenangan. Yakinkan saya disaat saya ragu. Beri saya pilihan dimana disaat itu terdapat kebuntuan. 

Berikan saya seseorang yang peduli pada saya dan keluarga saya. Menyayangi keluarga saya. Mengasihi keluarga saya. Dan mau berbaur dengan keluarga saya yang indah ini. Sekali lagi, pantaskan lah saya untuk seseorang yang pantas bagi saya. Pantaskan lah penyanding kedua orangtua saya sebagaimana mereka berusaha memantaskan diri untuk saling bersatu dan berkeluarga dengan cara yang indah meski berbeda.
Tidak ada yang lebih indah daripada keluarga saya.

Panjangkan lah usia mereka berdua... hindari mereka dari penyakit... berikan mereka kesempatan untuk melihat saya wisuda... benarkan mereka untuk menikmati uang hasil jerih payah saya seperti saya yang sejak dulu menikmati kenikmatan duniawi yang diberikan mereka... benarkan mereka untuk menikahkan saya dengan yang sesuai pilihan dan restunya,.. dan benarkan mereka untuk melihat wajah cucu mereka kelak. Benarkan itu semua Tuhan. Meskipun cara kami bahagia yang berbeda, tapi benarkanlah kami untuk bahagia yang lebih dari bahagia orang lain yang seiman sekalipun.
Kalau saja saya bisa... kembali kealam dimana fikiran yang masih begitu sangat muda... polos... dan tak tahu apa2. Lugu... hanya tahu yang baik... benar... suci... dimana kegalauan masih sangat terpendam dalam dada. Hanya bisa saya ungkap dalam puisi2 itu. Puisi yang lalu saya buang begitu saja dalam lembaran2 yang terpisah. Terhapus tidak ada bekas didalam file2 komputer saya. Puisi yang tidak pernah berhenti saya tulis saat waktu lengang. Puisi yang juga tidak pernah selesai saya tuntaskan sampai saat ini. Karena apa yang saya nanti2kan dari kegalauan itu belum juga terjawab. Belum terjawab.

Kepolosan saya... hanya akan menjadi celah bagi kecurangan seseorang yang mau mengambil manfaat dari saya. Kebaikan saya, rasa kasih sayang saya... pembelaan dan dukungan saya, hanya akan menjadi suatu hal yang dipermainkan setelah sebelumnya dibumbung tinggi dan dibanggakan. Saya tidak butuh pujian. Saya tidak butuh terima kasih. Saya hanya butuh perlakuan yang disertai penghargaan. Penghargaan yang sekalipun itu hanya diberikan kepada orang yang tidah tahu apa2 seperti saya ini. Maafkan untuk segala kekurangan saya. Saya pun akan memaklumi kekurangannya... seperti apa adanya.

Saya ingin sendiri... tapi mengapa selalu detik itu justru datang seseorang. Dan disaat saya ingin seseorang... mengapa ia menghilang. Saya... Tak usah khawatir tentang saya. Saya ingin sendiri karna saya sudah cukup disakiti setelah baru sesaat mengenalnya. Alhamdulillah, Astungkara, Tuhan melindungi saya. Tuhan tidak memberi kesempatan bagi orang tersebut berdiam lama bersama saya hanya untuk menyakiti saya. Orang baik yang betah berteman dengan saya... sekalipun saya merepotkan, mengganggu dan mengusik mereka.

Kumohon... untuk kali ini, kesempatan ini, dihubungan yang kali ini, jangan beri kesempatan seseorang untuk menjahatiku. Karna aku takut aku sudah hilang kesabaran untuk tidak bertindak atas perlakuan seseorang terhadap saya. Kebaikan orang, akan saya balas secepatnya. Dan justru kejahatan orang, saya pun takut melakukan hal serupa kepadanya. Jangan beri saya kesempatan untuk berbuat jahat. Berikan saya hati yang polos itu. Hati yang tidak pernah curiga. Hati yang hanya tahu cara memendam. Menangis dalam hati. Mengaduh dalam hati. Berdoa pada Tuhan.

Saya sudah tidak tahan Tuhan. Saya ingin tenang bersama dengan seseorang yang membimbing saya. Menuntun saya. Bukan membenarkan saya ketika melakukan kesalahan.

Tuhan saya... Tuhan anda... Tuhan kita semua sama. Tuhan itu maha esa. Tuhan itu tunggal. Tidak berawal tidak berakhir. Tidak melahirkan dan tidak dilahirkan. Sekalipun saya kelak memiliki jodoh yang berbeda, seperti perkataan ayah saya... saya harus taat pada seseorang yang akan menjaga saya nantinya, sebagai PENGGANTI AYAH, sekalipun saya harus mengikuti keyakinannya... saya hanya berharap, demi ayah dan ibu saya, semoga pengorbanan saya tidak sia2. Tidak dikhianati. Tidak dipermainkan. Tidak disia2kan seperti halnya adik dan kakak ayah saya.

Minggu, 23 Juni 2013

Arti nama Orang Bali


Nama Orang Bali

Nama orang Bali ini merupakan salah satu keunikan yang ada di Bali dan hingga saat ini sebagian besar orang Bali masih menggunakannya.
Mungkin Anda yang bukan orang Bali bertanya-tanya; mengapa nama depan orang Bali ada kemiripan satu sama lainya. 

Orang Bali umumnya memiliki nama depan seperti I Putu, I Wayan, I Gede, I Made, I Nyoman, I Ketut, dst. Ada juga yang memiliki nama depan seperti: Ida Bagus, Cokorda, I Gusti, Anak Agung, dst. Lalu apa sebenarnya makna dari nama depan tersebut?

Nama Orang Bali pada umumnya relatif panjang. Sebagai contoh I Dewa Agung Made Mahendra. Cukup panjang bukan? Itu padahal nama intinya hanya satu kata yaitu “Mahendra”, bisa jadi lebih panjang lagi jika nama intinya lebih dari satu kata.

Lalu apa maksud dari “I Dewa Agung Made” pada nama saya?


Nama orang Bali umumnya diawali dengan sebutan yang mencirikan kasta (wangsa) dan urutan kelahiran. Sebelum saya melanjutkan, disini saya tidak ingin membahas masalah kasta yang sering menjadi pro dan kontra di masyarakat khususnya di Bali.

Jadi, nama orang Bali menjadi panjang karena di depannya ada embel-embel kasta atau nama keluarga (semacam marga) dan urutan kelahiran. Seperti saya, “I Dewa Agung” adalah mencirikan saya berasal dari kasta Ksatria. Selain itu ada juga I Gusti, I Gusti Ngurah, Anak Agung, Cokorda, I Dewa, Ida Bagus, Ida Ayu dan lainnya. Selain embel-embel kasta, ada juga kata "Made". Ini adalah ciri bahwa saya anak kedua. Jadi pada umumnya orang Bali bisa diketahui dia anak ke berapa dari nama depannya. 

Menurut "sastra kanda pat sari", Nama-nama depan khas Bali itu sejatinya tidak lebih sebagai semacam penanda urutan kelahiran sang anak, dari pertama hingga keempat, adalah sebagai berikut:
  1. Anak pertama biasanya diberi awalan “Wayan” diambil dari kata wayahan yang artinya tertua / lebih tua, yang paling matang. Selain Wayan, nama depan untuk anak pertama juga kerap kali digunakan Putu atau Gede. Dua nama ini biasanya digunakan oleh orang Bali di belahan utara dan barat, sedangkan di Bali Timur dan Selatan cenderung memilih nama Wayan. kata “Putu” artinya cucu. Sedangkan “Gede” artinya besar / lebih besar. Dan untuk anak perempuan kadang diberi tambahan kata “Luh” Contoh : I wayan budi mahendra, Ni Putu Erni Andiani, I Gede Suardika, Ni Luh Putu Santhi dll
  2. "Made" diambil dari kata madya (tengah) sehingga digunakan sebagai nama depan anak kedua. Di beberapa daerah di Bali, anak kedua juga kerap diberi nama depan "Nengah" yang juga diambil dari kata tengah. Ada juga yang menggunakan kata “Kadek” merupakan serapan dari “adi” yang kemudian menjadi “adek” yang bermakna utama, atau adik. Contoh: I Kadek Mardika, Ni Made Suasti, Nengah Sukarmi dll
  3. Anak ketiga biasanya diberikan nama depan "Nyoman" atau "Komang" yang  konon diambil dari kata nyeman (lebih tawar) yang mengambil perbandingan kepada lapisan kulit pohon pisang, di mana ada bagian yang selapis sebelum kulit terluar yang rasanya cukup tawar. Nyoman ini konon berasal dari serapan “anom + an” yang bermakna muda.  Kemudian dalam perkembangan menjadi komang yang secara etimologis berasal dari kata uman yang bermakna “sisa” atau “akhir”.  Jadi menurut pandangan hidup kami, sebaiknya sebuah keluarga memiliki tiga anak saja.  Setalah beranak tiga, kita disarankan untuk lebih “bijaksana”. Namun zaman dahulu, obat herbal tradisional kurang efektif untuk mencegah kehamilan, coitus interruptus tidak layak diandalkan, dan aborsi selalu dipandang jahat, sehingga sepasang suami istri mungkin saja memiliki lebih dari tiga anak. Contoh: I Nyoman Indrayudha, Ni Komang Ariyuni dll
  4. Anak keempat : diawali dengan sebutan “Ketut”, yang merupakan serapan “ke + tuut” – ngetut yang bermakna mengikuti mengikuti atau mengekor. Ada juga yang mengkaitkan dengan kata kuno Kitut yang berarti sebuah pisang kecil di ujung terluar dari sesisir pisang. Ia adalah anak bonus yang tersayang. Karena program KB yang dianjurkan pemerintah, semakin sedikit orang Bali yang bertitel Ketut. Itu sebabnya ada kekhawatiran dari sementara orang Bali akan punahnya sebutan kesayangan ini. Contoh: I Ketut Nugraha, Ni Ketut Sudiasih dll
Orang Bali memiliki sebuah tabu bahwa petani tidak boleh menyebut kata tikus, di Bali disebut bikul,  di sawah, karena hal ini bagai mantra yang bisa memanggil tikus. Untuk itu di sawah, orang memanggilnya dengan julukan spesial  ” Jero Ketut”. Ia bermakna tuan kecil. Ini berangkat dari pandangan bahwa tikus bagimanapun juga adalah bagian dari keseimbangan alam.

Bila keluarga berancana gagal, dan sebuah keluarga memiliki lebih dari empat anak? Di sini ada 2 alternatif yang bisa dipakai orang tua untuk memberi nama depan pada anak kelima, keenam, dan seterusnya:
  • nama depan untuk anak kelima dan seterusnya mengulang kembali nama-nama depan sebelumnya sesuai urutannya.
  • Ada orang tua yang sengaja menambahkan kata "Balik" setelah nama depan anaknya untuk memberi tanda bahwa anak tersebut lahir setelah anak yang keempat. Contohnya: I Wayan Balik Suandra. Jadi nama depannya adalah "I Wayan Balik" yang menandakan bahwa dia adalah anak kelima, atau anak yang lahir setelah putaran 1 sampai 4.
Selama ini, kalau seseorang sudah menggunakan nama depan Made, Komang atau Ketut, bisa dipastikan sebagai orang Jaba-kecuali untuk kelompok Brahmana di desa Buda Keling, Karangasem yang masih mempertahankan tradisi pemakaian nama Ida Wayan, Ida Made dan seterusnya.

Tidak jelas benar, kapan tadisi pemberian nama depan ini mulai muncul di Bali. Yang pasti, menurut pakar linguistik dari Fakultas Sastra, Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U. nama depan itu ditemukan muncul pada abad ke-14 yang dipakai oleh raja Gelgel saat itu bergelar Dalem Ketut Kresna Kepakisan yang kemudian dilanjutkan putranya, DalemKetut Ngulesir. Dalem Ketut Kresna Kepakisan merupakan putra keempat dari Sri Kresna Kepakisan yang dinobatkan mahapatih Majapahit, Gajah Mada, sebagai penguasa perpanjangan tangan Majapahit di Bali.

Namun, Jendra belum berani memastikan apakah hal itu berarti tradisi pemberian nama depan itu sebagai pengaruh Majapahit atau bukan. Yang jelas, hal ini terpelihara sebagai tradisi yang cukup lama. Masyarakat Bali hingga akhir abad XX masih tunduk menggunakannya hingga akhirnya menjadi semacam ciri khas untuk membedakan orang Bali dengan orang luar Bali, sebelum akhirnya secara perlahan mulai bergeser, tidak lagi ditaati secara ketat oleh orang Bali. Pengingkaran ini sejatinya telah dimulai ketika nama-nama pokok yang mengikuti nama depan orang Bali juga mulai bergeser.

Selanjutnya, untuk membedakan jenis kelamin, orang bali mengawali setiap nama dengan menambah satu kata lagi, yaitu
  • Awalan “I” untuk anak lelaki
  • Awalan “Ni” untuk anak perempuan
Tapi tidak semua kasta (wangsa) orang Bali menggunakan kata I atau Ni. Misalnya dari golongan Anak Agung semuanya akan diawali dengan kata “Anak Agung”, "cokorda" dll.

Selain menunjukkan urutan kelahiran, ada nama depan tertentu yang menunjukkan kasta di bali. Penamaan berdasarkan Kasta ini merupakan gelar warisan turun temurun yang melekat pada keturunan orang Bali yang dulunya memiliki kelas tersendiri berdasarka profesinya.
  • Nama depan seperti "Ida Bagus" untuk pria atau "Ida Ayu" untuk wanita, menunjukkan bahwa dia berasal dari keturunankasta Brahmana di Bali. Brahmana adalah kasta dari penggolongan profesi sebagai pemuka agama; misalnya pendeta. Contohnya: Ida Bagus Dharmaputra, Ida Ayu Diah Tantri.
  • Nama depan seperti "Anak Agung", "I Gusti Agung", "Cokorda", "I Dewa", "Desak" (perempuan), "Dewa Ayu" (perempuan), "Ni Gusti Ayu" (perempuan), dan "I Gusti Ngurah", ini berasal dari kasta Ksatria yang merupakan golongan profesi dari pelaksana pemerintahan dan pembela negara. Contohnya: Anak Agung Komang Panji Tisna, Anak Agung Ayu Wulandari, Cokorda Rai Sudarta, I Dewa Putu Kardana, I Gusti Ngurah Adiana, dll.
Namun sering kali nama depan dari kasta-kasta (wangsa) di atas juga diikuti dengan urutan kelahiran. Seperti misalnya: Ida Bagus Putu Puja, Ida Ayu Komang Rasmini, I Gusti Agung Made Jayandara, Ni Gusti Ayu Putu Anggraeni, dll.

Sehingga bila ada yang bernama “I Dewa Agung Made Mahendra” itu artinya
  • I” menunjukan jenis kelamin Pria
  • Dewa Agung” menunjukan gelar Wangsa bukanlah kasta di bali
  • Made” menujukan urutan kelahiran, dalam hal ini anak ke 2
  • Mahendra” menunjukan nama.
Disamping itu ada sapaan yang biasa diberikan oleh orang yang lebih kecil kepada yang lebih tua dan sebaliknya. Diantaranya:
  • sapaan “Bli” untuk setiap pria yang ditemui. Terlepas itu benar atau salah, orang Bali tidak pernah mempermasalahkan. Mereka lebih cenderung untuk menghargai pengunjung yang berusaha “menghormati” dengan sebutan yang lebih akrab seperti “Bli”.
  • sebutan “Mbok” diberikan untuk wanita Bali.
  • Sapaan “Adi / adik” atau menyebut nama langsung diberikan kepada wanita ataupun pria yang lebih muda.
Selain itu ada panggilan akrab yang sering didengar untuk memanggil orang bali yang masih kecil, anak remaja  atau lebih muda (kira – kira belum menikah) diantaranya
  • panggilan "Gus" untuk laki-laki. Gus ini bersumber pada kata “bagus” yang artinya tampan, ganteng
  • panggilan "Gek" merupakan singkatan dari “Jegeg” yang artinya cantik, ayu.

Bila kita melihat maksud dan tujuan dari penyampaian yang tersirat dalam budaya masyarakat asli Bali, ada pelajaran yang dapat kita ambil didalamnya, yaitu kita harus selalu dapat menghormati kepada yang lebih tua. Dengan kata lain budaya merupakan pembelajaran norma-norma kehidupan yang tidak terlepas dari pada apa yang diajarkan oleh Tuhan kepada kita dalam hidup di alam semesta ini.

Demikian penjelasan saya tentang arti di balik nama-nama orang Bali. Semoga bermanfaat buat rekan yang membacanya. Mohon maaf bila ada nama saudara-saudara di Bali yang kebetulan saya sebutkan sebagai contoh dalam tulisan saya ini. Apabila ada kekurangan dalam penjelasan ini, saya menerima kritik dan saran dari rekan sekalian. Terima kasih

Arti nama Orang Bali


Nama Orang Bali

Nama orang Bali ini merupakan salah satu keunikan yang ada di Bali dan hingga saat ini sebagian besar orang Bali masih menggunakannya.
Mungkin Anda yang bukan orang Bali bertanya-tanya; mengapa nama depan orang Bali ada kemiripan satu sama lainya. 

Orang Bali umumnya memiliki nama depan seperti I Putu, I Wayan, I Gede, I Made, I Nyoman, I Ketut, dst. Ada juga yang memiliki nama depan seperti: Ida Bagus, Cokorda, I Gusti, Anak Agung, dst. Lalu apa sebenarnya makna dari nama depan tersebut?

Nama Orang Bali pada umumnya relatif panjang. Sebagai contoh I Dewa Agung Made Mahendra. Cukup panjang bukan? Itu padahal nama intinya hanya satu kata yaitu “Mahendra”, bisa jadi lebih panjang lagi jika nama intinya lebih dari satu kata.

Lalu apa maksud dari “I Dewa Agung Made” pada nama saya?


Nama orang Bali umumnya diawali dengan sebutan yang mencirikan kasta (wangsa) dan urutan kelahiran. Sebelum saya melanjutkan, disini saya tidak ingin membahas masalah kasta yang sering menjadi pro dan kontra di masyarakat khususnya di Bali.

Jadi, nama orang Bali menjadi panjang karena di depannya ada embel-embel kasta atau nama keluarga (semacam marga) dan urutan kelahiran. Seperti saya, “I Dewa Agung” adalah mencirikan saya berasal dari kasta Ksatria. Selain itu ada juga I Gusti, I Gusti Ngurah, Anak Agung, Cokorda, I Dewa, Ida Bagus, Ida Ayu dan lainnya. Selain embel-embel kasta, ada juga kata "Made". Ini adalah ciri bahwa saya anak kedua. Jadi pada umumnya orang Bali bisa diketahui dia anak ke berapa dari nama depannya. 

Menurut "sastra kanda pat sari", Nama-nama depan khas Bali itu sejatinya tidak lebih sebagai semacam penanda urutan kelahiran sang anak, dari pertama hingga keempat, adalah sebagai berikut:
  1. Anak pertama biasanya diberi awalan “Wayan” diambil dari kata wayahan yang artinya tertua / lebih tua, yang paling matang. Selain Wayan, nama depan untuk anak pertama juga kerap kali digunakan Putu atau Gede. Dua nama ini biasanya digunakan oleh orang Bali di belahan utara dan barat, sedangkan di Bali Timur dan Selatan cenderung memilih nama Wayan. kata “Putu” artinya cucu. Sedangkan “Gede” artinya besar / lebih besar. Dan untuk anak perempuan kadang diberi tambahan kata “Luh” Contoh : I wayan budi mahendra, Ni Putu Erni Andiani, I Gede Suardika, Ni Luh Putu Santhi dll
  2. "Made" diambil dari kata madya (tengah) sehingga digunakan sebagai nama depan anak kedua. Di beberapa daerah di Bali, anak kedua juga kerap diberi nama depan "Nengah" yang juga diambil dari kata tengah. Ada juga yang menggunakan kata “Kadek” merupakan serapan dari “adi” yang kemudian menjadi “adek” yang bermakna utama, atau adik. Contoh: I Kadek Mardika, Ni Made Suasti, Nengah Sukarmi dll
  3. Anak ketiga biasanya diberikan nama depan "Nyoman" atau "Komang" yang  konon diambil dari kata nyeman (lebih tawar) yang mengambil perbandingan kepada lapisan kulit pohon pisang, di mana ada bagian yang selapis sebelum kulit terluar yang rasanya cukup tawar. Nyoman ini konon berasal dari serapan “anom + an” yang bermakna muda.  Kemudian dalam perkembangan menjadi komang yang secara etimologis berasal dari kata uman yang bermakna “sisa” atau “akhir”.  Jadi menurut pandangan hidup kami, sebaiknya sebuah keluarga memiliki tiga anak saja.  Setalah beranak tiga, kita disarankan untuk lebih “bijaksana”. Namun zaman dahulu, obat herbal tradisional kurang efektif untuk mencegah kehamilan, coitus interruptus tidak layak diandalkan, dan aborsi selalu dipandang jahat, sehingga sepasang suami istri mungkin saja memiliki lebih dari tiga anak. Contoh: I Nyoman Indrayudha, Ni Komang Ariyuni dll
  4. Anak keempat : diawali dengan sebutan “Ketut”, yang merupakan serapan “ke + tuut” – ngetut yang bermakna mengikuti mengikuti atau mengekor. Ada juga yang mengkaitkan dengan kata kuno Kitut yang berarti sebuah pisang kecil di ujung terluar dari sesisir pisang. Ia adalah anak bonus yang tersayang. Karena program KB yang dianjurkan pemerintah, semakin sedikit orang Bali yang bertitel Ketut. Itu sebabnya ada kekhawatiran dari sementara orang Bali akan punahnya sebutan kesayangan ini. Contoh: I Ketut Nugraha, Ni Ketut Sudiasih dll
Orang Bali memiliki sebuah tabu bahwa petani tidak boleh menyebut kata tikus, di Bali disebut bikul,  di sawah, karena hal ini bagai mantra yang bisa memanggil tikus. Untuk itu di sawah, orang memanggilnya dengan julukan spesial  ” Jero Ketut”. Ia bermakna tuan kecil. Ini berangkat dari pandangan bahwa tikus bagimanapun juga adalah bagian dari keseimbangan alam.

Bila keluarga berancana gagal, dan sebuah keluarga memiliki lebih dari empat anak? Di sini ada 2 alternatif yang bisa dipakai orang tua untuk memberi nama depan pada anak kelima, keenam, dan seterusnya:
  • nama depan untuk anak kelima dan seterusnya mengulang kembali nama-nama depan sebelumnya sesuai urutannya.
  • Ada orang tua yang sengaja menambahkan kata "Balik" setelah nama depan anaknya untuk memberi tanda bahwa anak tersebut lahir setelah anak yang keempat. Contohnya: I Wayan Balik Suandra. Jadi nama depannya adalah "I Wayan Balik" yang menandakan bahwa dia adalah anak kelima, atau anak yang lahir setelah putaran 1 sampai 4.
Selama ini, kalau seseorang sudah menggunakan nama depan Made, Komang atau Ketut, bisa dipastikan sebagai orang Jaba-kecuali untuk kelompok Brahmana di desa Buda Keling, Karangasem yang masih mempertahankan tradisi pemakaian nama Ida Wayan, Ida Made dan seterusnya.

Tidak jelas benar, kapan tadisi pemberian nama depan ini mulai muncul di Bali. Yang pasti, menurut pakar linguistik dari Fakultas Sastra, Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U. nama depan itu ditemukan muncul pada abad ke-14 yang dipakai oleh raja Gelgel saat itu bergelar Dalem Ketut Kresna Kepakisan yang kemudian dilanjutkan putranya, DalemKetut Ngulesir. Dalem Ketut Kresna Kepakisan merupakan putra keempat dari Sri Kresna Kepakisan yang dinobatkan mahapatih Majapahit, Gajah Mada, sebagai penguasa perpanjangan tangan Majapahit di Bali.

Namun, Jendra belum berani memastikan apakah hal itu berarti tradisi pemberian nama depan itu sebagai pengaruh Majapahit atau bukan. Yang jelas, hal ini terpelihara sebagai tradisi yang cukup lama. Masyarakat Bali hingga akhir abad XX masih tunduk menggunakannya hingga akhirnya menjadi semacam ciri khas untuk membedakan orang Bali dengan orang luar Bali, sebelum akhirnya secara perlahan mulai bergeser, tidak lagi ditaati secara ketat oleh orang Bali. Pengingkaran ini sejatinya telah dimulai ketika nama-nama pokok yang mengikuti nama depan orang Bali juga mulai bergeser.

Selanjutnya, untuk membedakan jenis kelamin, orang bali mengawali setiap nama dengan menambah satu kata lagi, yaitu
  • Awalan “I” untuk anak lelaki
  • Awalan “Ni” untuk anak perempuan
Tapi tidak semua kasta (wangsa) orang Bali menggunakan kata I atau Ni. Misalnya dari golongan Anak Agung semuanya akan diawali dengan kata “Anak Agung”, "cokorda" dll.

Selain menunjukkan urutan kelahiran, ada nama depan tertentu yang menunjukkan kasta di bali. Penamaan berdasarkan Kasta ini merupakan gelar warisan turun temurun yang melekat pada keturunan orang Bali yang dulunya memiliki kelas tersendiri berdasarka profesinya.
  • Nama depan seperti "Ida Bagus" untuk pria atau "Ida Ayu" untuk wanita, menunjukkan bahwa dia berasal dari keturunankasta Brahmana di Bali. Brahmana adalah kasta dari penggolongan profesi sebagai pemuka agama; misalnya pendeta. Contohnya: Ida Bagus Dharmaputra, Ida Ayu Diah Tantri.
  • Nama depan seperti "Anak Agung", "I Gusti Agung", "Cokorda", "I Dewa", "Desak" (perempuan), "Dewa Ayu" (perempuan), "Ni Gusti Ayu" (perempuan), dan "I Gusti Ngurah", ini berasal dari kasta Ksatria yang merupakan golongan profesi dari pelaksana pemerintahan dan pembela negara. Contohnya: Anak Agung Komang Panji Tisna, Anak Agung Ayu Wulandari, Cokorda Rai Sudarta, I Dewa Putu Kardana, I Gusti Ngurah Adiana, dll.
Namun sering kali nama depan dari kasta-kasta (wangsa) di atas juga diikuti dengan urutan kelahiran. Seperti misalnya: Ida Bagus Putu Puja, Ida Ayu Komang Rasmini, I Gusti Agung Made Jayandara, Ni Gusti Ayu Putu Anggraeni, dll.

Sehingga bila ada yang bernama “I Dewa Agung Made Mahendra” itu artinya
  • I” menunjukan jenis kelamin Pria
  • Dewa Agung” menunjukan gelar Wangsa bukanlah kasta di bali
  • Made” menujukan urutan kelahiran, dalam hal ini anak ke 2
  • Mahendra” menunjukan nama.
Disamping itu ada sapaan yang biasa diberikan oleh orang yang lebih kecil kepada yang lebih tua dan sebaliknya. Diantaranya:
  • sapaan “Bli” untuk setiap pria yang ditemui. Terlepas itu benar atau salah, orang Bali tidak pernah mempermasalahkan. Mereka lebih cenderung untuk menghargai pengunjung yang berusaha “menghormati” dengan sebutan yang lebih akrab seperti “Bli”.
  • sebutan “Mbok” diberikan untuk wanita Bali.
  • Sapaan “Adi / adik” atau menyebut nama langsung diberikan kepada wanita ataupun pria yang lebih muda.
Selain itu ada panggilan akrab yang sering didengar untuk memanggil orang bali yang masih kecil, anak remaja  atau lebih muda (kira – kira belum menikah) diantaranya
  • panggilan "Gus" untuk laki-laki. Gus ini bersumber pada kata “bagus” yang artinya tampan, ganteng
  • panggilan "Gek" merupakan singkatan dari “Jegeg” yang artinya cantik, ayu.

Bila kita melihat maksud dan tujuan dari penyampaian yang tersirat dalam budaya masyarakat asli Bali, ada pelajaran yang dapat kita ambil didalamnya, yaitu kita harus selalu dapat menghormati kepada yang lebih tua. Dengan kata lain budaya merupakan pembelajaran norma-norma kehidupan yang tidak terlepas dari pada apa yang diajarkan oleh Tuhan kepada kita dalam hidup di alam semesta ini.

Demikian penjelasan saya tentang arti di balik nama-nama orang Bali. Semoga bermanfaat buat rekan yang membacanya. Mohon maaf bila ada nama saudara-saudara di Bali yang kebetulan saya sebutkan sebagai contoh dalam tulisan saya ini. Apabila ada kekurangan dalam penjelasan ini, saya menerima kritik dan saran dari rekan sekalian. Terima kasih

Arti nama Orang Bali


Nama Orang Bali

Nama orang Bali ini merupakan salah satu keunikan yang ada di Bali dan hingga saat ini sebagian besar orang Bali masih menggunakannya.
Mungkin Anda yang bukan orang Bali bertanya-tanya; mengapa nama depan orang Bali ada kemiripan satu sama lainya. 

Orang Bali umumnya memiliki nama depan seperti I Putu, I Wayan, I Gede, I Made, I Nyoman, I Ketut, dst. Ada juga yang memiliki nama depan seperti: Ida Bagus, Cokorda, I Gusti, Anak Agung, dst. Lalu apa sebenarnya makna dari nama depan tersebut?

Nama Orang Bali pada umumnya relatif panjang. Sebagai contoh I Dewa Agung Made Mahendra. Cukup panjang bukan? Itu padahal nama intinya hanya satu kata yaitu “Mahendra”, bisa jadi lebih panjang lagi jika nama intinya lebih dari satu kata.

Lalu apa maksud dari “I Dewa Agung Made” pada nama saya?


Nama orang Bali umumnya diawali dengan sebutan yang mencirikan kasta (wangsa) dan urutan kelahiran. Sebelum saya melanjutkan, disini saya tidak ingin membahas masalah kasta yang sering menjadi pro dan kontra di masyarakat khususnya di Bali.

Jadi, nama orang Bali menjadi panjang karena di depannya ada embel-embel kasta atau nama keluarga (semacam marga) dan urutan kelahiran. Seperti saya, “I Dewa Agung” adalah mencirikan saya berasal dari kasta Ksatria. Selain itu ada juga I Gusti, I Gusti Ngurah, Anak Agung, Cokorda, I Dewa, Ida Bagus, Ida Ayu dan lainnya. Selain embel-embel kasta, ada juga kata "Made". Ini adalah ciri bahwa saya anak kedua. Jadi pada umumnya orang Bali bisa diketahui dia anak ke berapa dari nama depannya. 

Menurut "sastra kanda pat sari", Nama-nama depan khas Bali itu sejatinya tidak lebih sebagai semacam penanda urutan kelahiran sang anak, dari pertama hingga keempat, adalah sebagai berikut:
  1. Anak pertama biasanya diberi awalan “Wayan” diambil dari kata wayahan yang artinya tertua / lebih tua, yang paling matang. Selain Wayan, nama depan untuk anak pertama juga kerap kali digunakan Putu atau Gede. Dua nama ini biasanya digunakan oleh orang Bali di belahan utara dan barat, sedangkan di Bali Timur dan Selatan cenderung memilih nama Wayan. kata “Putu” artinya cucu. Sedangkan “Gede” artinya besar / lebih besar. Dan untuk anak perempuan kadang diberi tambahan kata “Luh” Contoh : I wayan budi mahendra, Ni Putu Erni Andiani, I Gede Suardika, Ni Luh Putu Santhi dll
  2. "Made" diambil dari kata madya (tengah) sehingga digunakan sebagai nama depan anak kedua. Di beberapa daerah di Bali, anak kedua juga kerap diberi nama depan "Nengah" yang juga diambil dari kata tengah. Ada juga yang menggunakan kata “Kadek” merupakan serapan dari “adi” yang kemudian menjadi “adek” yang bermakna utama, atau adik. Contoh: I Kadek Mardika, Ni Made Suasti, Nengah Sukarmi dll
  3. Anak ketiga biasanya diberikan nama depan "Nyoman" atau "Komang" yang  konon diambil dari kata nyeman (lebih tawar) yang mengambil perbandingan kepada lapisan kulit pohon pisang, di mana ada bagian yang selapis sebelum kulit terluar yang rasanya cukup tawar. Nyoman ini konon berasal dari serapan “anom + an” yang bermakna muda.  Kemudian dalam perkembangan menjadi komang yang secara etimologis berasal dari kata uman yang bermakna “sisa” atau “akhir”.  Jadi menurut pandangan hidup kami, sebaiknya sebuah keluarga memiliki tiga anak saja.  Setalah beranak tiga, kita disarankan untuk lebih “bijaksana”. Namun zaman dahulu, obat herbal tradisional kurang efektif untuk mencegah kehamilan, coitus interruptus tidak layak diandalkan, dan aborsi selalu dipandang jahat, sehingga sepasang suami istri mungkin saja memiliki lebih dari tiga anak. Contoh: I Nyoman Indrayudha, Ni Komang Ariyuni dll
  4. Anak keempat : diawali dengan sebutan “Ketut”, yang merupakan serapan “ke + tuut” – ngetut yang bermakna mengikuti mengikuti atau mengekor. Ada juga yang mengkaitkan dengan kata kuno Kitut yang berarti sebuah pisang kecil di ujung terluar dari sesisir pisang. Ia adalah anak bonus yang tersayang. Karena program KB yang dianjurkan pemerintah, semakin sedikit orang Bali yang bertitel Ketut. Itu sebabnya ada kekhawatiran dari sementara orang Bali akan punahnya sebutan kesayangan ini. Contoh: I Ketut Nugraha, Ni Ketut Sudiasih dll
Orang Bali memiliki sebuah tabu bahwa petani tidak boleh menyebut kata tikus, di Bali disebut bikul,  di sawah, karena hal ini bagai mantra yang bisa memanggil tikus. Untuk itu di sawah, orang memanggilnya dengan julukan spesial  ” Jero Ketut”. Ia bermakna tuan kecil. Ini berangkat dari pandangan bahwa tikus bagimanapun juga adalah bagian dari keseimbangan alam.

Bila keluarga berancana gagal, dan sebuah keluarga memiliki lebih dari empat anak? Di sini ada 2 alternatif yang bisa dipakai orang tua untuk memberi nama depan pada anak kelima, keenam, dan seterusnya:
  • nama depan untuk anak kelima dan seterusnya mengulang kembali nama-nama depan sebelumnya sesuai urutannya.
  • Ada orang tua yang sengaja menambahkan kata "Balik" setelah nama depan anaknya untuk memberi tanda bahwa anak tersebut lahir setelah anak yang keempat. Contohnya: I Wayan Balik Suandra. Jadi nama depannya adalah "I Wayan Balik" yang menandakan bahwa dia adalah anak kelima, atau anak yang lahir setelah putaran 1 sampai 4.
Selama ini, kalau seseorang sudah menggunakan nama depan Made, Komang atau Ketut, bisa dipastikan sebagai orang Jaba-kecuali untuk kelompok Brahmana di desa Buda Keling, Karangasem yang masih mempertahankan tradisi pemakaian nama Ida Wayan, Ida Made dan seterusnya.

Tidak jelas benar, kapan tadisi pemberian nama depan ini mulai muncul di Bali. Yang pasti, menurut pakar linguistik dari Fakultas Sastra, Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U. nama depan itu ditemukan muncul pada abad ke-14 yang dipakai oleh raja Gelgel saat itu bergelar Dalem Ketut Kresna Kepakisan yang kemudian dilanjutkan putranya, DalemKetut Ngulesir. Dalem Ketut Kresna Kepakisan merupakan putra keempat dari Sri Kresna Kepakisan yang dinobatkan mahapatih Majapahit, Gajah Mada, sebagai penguasa perpanjangan tangan Majapahit di Bali.

Namun, Jendra belum berani memastikan apakah hal itu berarti tradisi pemberian nama depan itu sebagai pengaruh Majapahit atau bukan. Yang jelas, hal ini terpelihara sebagai tradisi yang cukup lama. Masyarakat Bali hingga akhir abad XX masih tunduk menggunakannya hingga akhirnya menjadi semacam ciri khas untuk membedakan orang Bali dengan orang luar Bali, sebelum akhirnya secara perlahan mulai bergeser, tidak lagi ditaati secara ketat oleh orang Bali. Pengingkaran ini sejatinya telah dimulai ketika nama-nama pokok yang mengikuti nama depan orang Bali juga mulai bergeser.

Selanjutnya, untuk membedakan jenis kelamin, orang bali mengawali setiap nama dengan menambah satu kata lagi, yaitu
  • Awalan “I” untuk anak lelaki
  • Awalan “Ni” untuk anak perempuan
Tapi tidak semua kasta (wangsa) orang Bali menggunakan kata I atau Ni. Misalnya dari golongan Anak Agung semuanya akan diawali dengan kata “Anak Agung”, "cokorda" dll.

Selain menunjukkan urutan kelahiran, ada nama depan tertentu yang menunjukkan kasta di bali. Penamaan berdasarkan Kasta ini merupakan gelar warisan turun temurun yang melekat pada keturunan orang Bali yang dulunya memiliki kelas tersendiri berdasarka profesinya.
  • Nama depan seperti "Ida Bagus" untuk pria atau "Ida Ayu" untuk wanita, menunjukkan bahwa dia berasal dari keturunankasta Brahmana di Bali. Brahmana adalah kasta dari penggolongan profesi sebagai pemuka agama; misalnya pendeta. Contohnya: Ida Bagus Dharmaputra, Ida Ayu Diah Tantri.
  • Nama depan seperti "Anak Agung", "I Gusti Agung", "Cokorda", "I Dewa", "Desak" (perempuan), "Dewa Ayu" (perempuan), "Ni Gusti Ayu" (perempuan), dan "I Gusti Ngurah", ini berasal dari kasta Ksatria yang merupakan golongan profesi dari pelaksana pemerintahan dan pembela negara. Contohnya: Anak Agung Komang Panji Tisna, Anak Agung Ayu Wulandari, Cokorda Rai Sudarta, I Dewa Putu Kardana, I Gusti Ngurah Adiana, dll.
Namun sering kali nama depan dari kasta-kasta (wangsa) di atas juga diikuti dengan urutan kelahiran. Seperti misalnya: Ida Bagus Putu Puja, Ida Ayu Komang Rasmini, I Gusti Agung Made Jayandara, Ni Gusti Ayu Putu Anggraeni, dll.

Sehingga bila ada yang bernama “I Dewa Agung Made Mahendra” itu artinya
  • I” menunjukan jenis kelamin Pria
  • Dewa Agung” menunjukan gelar Wangsa bukanlah kasta di bali
  • Made” menujukan urutan kelahiran, dalam hal ini anak ke 2
  • Mahendra” menunjukan nama.
Disamping itu ada sapaan yang biasa diberikan oleh orang yang lebih kecil kepada yang lebih tua dan sebaliknya. Diantaranya:
  • sapaan “Bli” untuk setiap pria yang ditemui. Terlepas itu benar atau salah, orang Bali tidak pernah mempermasalahkan. Mereka lebih cenderung untuk menghargai pengunjung yang berusaha “menghormati” dengan sebutan yang lebih akrab seperti “Bli”.
  • sebutan “Mbok” diberikan untuk wanita Bali.
  • Sapaan “Adi / adik” atau menyebut nama langsung diberikan kepada wanita ataupun pria yang lebih muda.
Selain itu ada panggilan akrab yang sering didengar untuk memanggil orang bali yang masih kecil, anak remaja  atau lebih muda (kira – kira belum menikah) diantaranya
  • panggilan "Gus" untuk laki-laki. Gus ini bersumber pada kata “bagus” yang artinya tampan, ganteng
  • panggilan "Gek" merupakan singkatan dari “Jegeg” yang artinya cantik, ayu.

Bila kita melihat maksud dan tujuan dari penyampaian yang tersirat dalam budaya masyarakat asli Bali, ada pelajaran yang dapat kita ambil didalamnya, yaitu kita harus selalu dapat menghormati kepada yang lebih tua. Dengan kata lain budaya merupakan pembelajaran norma-norma kehidupan yang tidak terlepas dari pada apa yang diajarkan oleh Tuhan kepada kita dalam hidup di alam semesta ini.

Demikian penjelasan saya tentang arti di balik nama-nama orang Bali. Semoga bermanfaat buat rekan yang membacanya. Mohon maaf bila ada nama saudara-saudara di Bali yang kebetulan saya sebutkan sebagai contoh dalam tulisan saya ini. Apabila ada kekurangan dalam penjelasan ini, saya menerima kritik dan saran dari rekan sekalian. Terima kasih

Arti nama Orang Bali


Nama Orang Bali

Nama orang Bali ini merupakan salah satu keunikan yang ada di Bali dan hingga saat ini sebagian besar orang Bali masih menggunakannya.
Mungkin Anda yang bukan orang Bali bertanya-tanya; mengapa nama depan orang Bali ada kemiripan satu sama lainya. 

Orang Bali umumnya memiliki nama depan seperti I Putu, I Wayan, I Gede, I Made, I Nyoman, I Ketut, dst. Ada juga yang memiliki nama depan seperti: Ida Bagus, Cokorda, I Gusti, Anak Agung, dst. Lalu apa sebenarnya makna dari nama depan tersebut?

Nama Orang Bali pada umumnya relatif panjang. Sebagai contoh I Dewa Agung Made Mahendra. Cukup panjang bukan? Itu padahal nama intinya hanya satu kata yaitu “Mahendra”, bisa jadi lebih panjang lagi jika nama intinya lebih dari satu kata.

Lalu apa maksud dari “I Dewa Agung Made” pada nama saya?


Nama orang Bali umumnya diawali dengan sebutan yang mencirikan kasta (wangsa) dan urutan kelahiran. Sebelum saya melanjutkan, disini saya tidak ingin membahas masalah kasta yang sering menjadi pro dan kontra di masyarakat khususnya di Bali.

Jadi, nama orang Bali menjadi panjang karena di depannya ada embel-embel kasta atau nama keluarga (semacam marga) dan urutan kelahiran. Seperti saya, “I Dewa Agung” adalah mencirikan saya berasal dari kasta Ksatria. Selain itu ada juga I Gusti, I Gusti Ngurah, Anak Agung, Cokorda, I Dewa, Ida Bagus, Ida Ayu dan lainnya. Selain embel-embel kasta, ada juga kata "Made". Ini adalah ciri bahwa saya anak kedua. Jadi pada umumnya orang Bali bisa diketahui dia anak ke berapa dari nama depannya. 

Menurut "sastra kanda pat sari", Nama-nama depan khas Bali itu sejatinya tidak lebih sebagai semacam penanda urutan kelahiran sang anak, dari pertama hingga keempat, adalah sebagai berikut:
  1. Anak pertama biasanya diberi awalan “Wayan” diambil dari kata wayahan yang artinya tertua / lebih tua, yang paling matang. Selain Wayan, nama depan untuk anak pertama juga kerap kali digunakan Putu atau Gede. Dua nama ini biasanya digunakan oleh orang Bali di belahan utara dan barat, sedangkan di Bali Timur dan Selatan cenderung memilih nama Wayan. kata “Putu” artinya cucu. Sedangkan “Gede” artinya besar / lebih besar. Dan untuk anak perempuan kadang diberi tambahan kata “Luh” Contoh : I wayan budi mahendra, Ni Putu Erni Andiani, I Gede Suardika, Ni Luh Putu Santhi dll
  2. "Made" diambil dari kata madya (tengah) sehingga digunakan sebagai nama depan anak kedua. Di beberapa daerah di Bali, anak kedua juga kerap diberi nama depan "Nengah" yang juga diambil dari kata tengah. Ada juga yang menggunakan kata “Kadek” merupakan serapan dari “adi” yang kemudian menjadi “adek” yang bermakna utama, atau adik. Contoh: I Kadek Mardika, Ni Made Suasti, Nengah Sukarmi dll
  3. Anak ketiga biasanya diberikan nama depan "Nyoman" atau "Komang" yang  konon diambil dari kata nyeman (lebih tawar) yang mengambil perbandingan kepada lapisan kulit pohon pisang, di mana ada bagian yang selapis sebelum kulit terluar yang rasanya cukup tawar. Nyoman ini konon berasal dari serapan “anom + an” yang bermakna muda.  Kemudian dalam perkembangan menjadi komang yang secara etimologis berasal dari kata uman yang bermakna “sisa” atau “akhir”.  Jadi menurut pandangan hidup kami, sebaiknya sebuah keluarga memiliki tiga anak saja.  Setalah beranak tiga, kita disarankan untuk lebih “bijaksana”. Namun zaman dahulu, obat herbal tradisional kurang efektif untuk mencegah kehamilan, coitus interruptus tidak layak diandalkan, dan aborsi selalu dipandang jahat, sehingga sepasang suami istri mungkin saja memiliki lebih dari tiga anak. Contoh: I Nyoman Indrayudha, Ni Komang Ariyuni dll
  4. Anak keempat : diawali dengan sebutan “Ketut”, yang merupakan serapan “ke + tuut” – ngetut yang bermakna mengikuti mengikuti atau mengekor. Ada juga yang mengkaitkan dengan kata kuno Kitut yang berarti sebuah pisang kecil di ujung terluar dari sesisir pisang. Ia adalah anak bonus yang tersayang. Karena program KB yang dianjurkan pemerintah, semakin sedikit orang Bali yang bertitel Ketut. Itu sebabnya ada kekhawatiran dari sementara orang Bali akan punahnya sebutan kesayangan ini. Contoh: I Ketut Nugraha, Ni Ketut Sudiasih dll
Orang Bali memiliki sebuah tabu bahwa petani tidak boleh menyebut kata tikus, di Bali disebut bikul,  di sawah, karena hal ini bagai mantra yang bisa memanggil tikus. Untuk itu di sawah, orang memanggilnya dengan julukan spesial  ” Jero Ketut”. Ia bermakna tuan kecil. Ini berangkat dari pandangan bahwa tikus bagimanapun juga adalah bagian dari keseimbangan alam.

Bila keluarga berancana gagal, dan sebuah keluarga memiliki lebih dari empat anak? Di sini ada 2 alternatif yang bisa dipakai orang tua untuk memberi nama depan pada anak kelima, keenam, dan seterusnya:
  • nama depan untuk anak kelima dan seterusnya mengulang kembali nama-nama depan sebelumnya sesuai urutannya.
  • Ada orang tua yang sengaja menambahkan kata "Balik" setelah nama depan anaknya untuk memberi tanda bahwa anak tersebut lahir setelah anak yang keempat. Contohnya: I Wayan Balik Suandra. Jadi nama depannya adalah "I Wayan Balik" yang menandakan bahwa dia adalah anak kelima, atau anak yang lahir setelah putaran 1 sampai 4.
Selama ini, kalau seseorang sudah menggunakan nama depan Made, Komang atau Ketut, bisa dipastikan sebagai orang Jaba-kecuali untuk kelompok Brahmana di desa Buda Keling, Karangasem yang masih mempertahankan tradisi pemakaian nama Ida Wayan, Ida Made dan seterusnya.

Tidak jelas benar, kapan tadisi pemberian nama depan ini mulai muncul di Bali. Yang pasti, menurut pakar linguistik dari Fakultas Sastra, Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U. nama depan itu ditemukan muncul pada abad ke-14 yang dipakai oleh raja Gelgel saat itu bergelar Dalem Ketut Kresna Kepakisan yang kemudian dilanjutkan putranya, DalemKetut Ngulesir. Dalem Ketut Kresna Kepakisan merupakan putra keempat dari Sri Kresna Kepakisan yang dinobatkan mahapatih Majapahit, Gajah Mada, sebagai penguasa perpanjangan tangan Majapahit di Bali.

Namun, Jendra belum berani memastikan apakah hal itu berarti tradisi pemberian nama depan itu sebagai pengaruh Majapahit atau bukan. Yang jelas, hal ini terpelihara sebagai tradisi yang cukup lama. Masyarakat Bali hingga akhir abad XX masih tunduk menggunakannya hingga akhirnya menjadi semacam ciri khas untuk membedakan orang Bali dengan orang luar Bali, sebelum akhirnya secara perlahan mulai bergeser, tidak lagi ditaati secara ketat oleh orang Bali. Pengingkaran ini sejatinya telah dimulai ketika nama-nama pokok yang mengikuti nama depan orang Bali juga mulai bergeser.

Selanjutnya, untuk membedakan jenis kelamin, orang bali mengawali setiap nama dengan menambah satu kata lagi, yaitu
  • Awalan “I” untuk anak lelaki
  • Awalan “Ni” untuk anak perempuan
Tapi tidak semua kasta (wangsa) orang Bali menggunakan kata I atau Ni. Misalnya dari golongan Anak Agung semuanya akan diawali dengan kata “Anak Agung”, "cokorda" dll.

Selain menunjukkan urutan kelahiran, ada nama depan tertentu yang menunjukkan kasta di bali. Penamaan berdasarkan Kasta ini merupakan gelar warisan turun temurun yang melekat pada keturunan orang Bali yang dulunya memiliki kelas tersendiri berdasarka profesinya.
  • Nama depan seperti "Ida Bagus" untuk pria atau "Ida Ayu" untuk wanita, menunjukkan bahwa dia berasal dari keturunankasta Brahmana di Bali. Brahmana adalah kasta dari penggolongan profesi sebagai pemuka agama; misalnya pendeta. Contohnya: Ida Bagus Dharmaputra, Ida Ayu Diah Tantri.
  • Nama depan seperti "Anak Agung", "I Gusti Agung", "Cokorda", "I Dewa", "Desak" (perempuan), "Dewa Ayu" (perempuan), "Ni Gusti Ayu" (perempuan), dan "I Gusti Ngurah", ini berasal dari kasta Ksatria yang merupakan golongan profesi dari pelaksana pemerintahan dan pembela negara. Contohnya: Anak Agung Komang Panji Tisna, Anak Agung Ayu Wulandari, Cokorda Rai Sudarta, I Dewa Putu Kardana, I Gusti Ngurah Adiana, dll.
Namun sering kali nama depan dari kasta-kasta (wangsa) di atas juga diikuti dengan urutan kelahiran. Seperti misalnya: Ida Bagus Putu Puja, Ida Ayu Komang Rasmini, I Gusti Agung Made Jayandara, Ni Gusti Ayu Putu Anggraeni, dll.

Sehingga bila ada yang bernama “I Dewa Agung Made Mahendra” itu artinya
  • I” menunjukan jenis kelamin Pria
  • Dewa Agung” menunjukan gelar Wangsa bukanlah kasta di bali
  • Made” menujukan urutan kelahiran, dalam hal ini anak ke 2
  • Mahendra” menunjukan nama.
Disamping itu ada sapaan yang biasa diberikan oleh orang yang lebih kecil kepada yang lebih tua dan sebaliknya. Diantaranya:
  • sapaan “Bli” untuk setiap pria yang ditemui. Terlepas itu benar atau salah, orang Bali tidak pernah mempermasalahkan. Mereka lebih cenderung untuk menghargai pengunjung yang berusaha “menghormati” dengan sebutan yang lebih akrab seperti “Bli”.
  • sebutan “Mbok” diberikan untuk wanita Bali.
  • Sapaan “Adi / adik” atau menyebut nama langsung diberikan kepada wanita ataupun pria yang lebih muda.
Selain itu ada panggilan akrab yang sering didengar untuk memanggil orang bali yang masih kecil, anak remaja  atau lebih muda (kira – kira belum menikah) diantaranya
  • panggilan "Gus" untuk laki-laki. Gus ini bersumber pada kata “bagus” yang artinya tampan, ganteng
  • panggilan "Gek" merupakan singkatan dari “Jegeg” yang artinya cantik, ayu.

Bila kita melihat maksud dan tujuan dari penyampaian yang tersirat dalam budaya masyarakat asli Bali, ada pelajaran yang dapat kita ambil didalamnya, yaitu kita harus selalu dapat menghormati kepada yang lebih tua. Dengan kata lain budaya merupakan pembelajaran norma-norma kehidupan yang tidak terlepas dari pada apa yang diajarkan oleh Tuhan kepada kita dalam hidup di alam semesta ini.

Demikian penjelasan saya tentang arti di balik nama-nama orang Bali. Semoga bermanfaat buat rekan yang membacanya. Mohon maaf bila ada nama saudara-saudara di Bali yang kebetulan saya sebutkan sebagai contoh dalam tulisan saya ini. Apabila ada kekurangan dalam penjelasan ini, saya menerima kritik dan saran dari rekan sekalian. Terima kasih